Salah Kaidah Dalam Beragama
Saturday, 4 April 2020
Add Comment
Di sedang penduduk beredar kaidah-kaidah yang mereka jadikan acuan di didalam beragama. Padahal kaidah-kaidah tersebut tidak tersedia asalnya dari para salafus shalih dan para ulama Ahlussunnah. Terlebih kembali kaidah-kaidah ini membawa kasus dan bertentangan dengan dengan syariat.
Artikel Terkait
"saling tolong menolonglah di didalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah saling tolong menopang di didalam dosa dan pelanggaran" (QS. Al Maidah: 2).
Ayat ini menyatakan bagwa tolong menopang itu bukan di didalam perkara yang disepakati oleh manusia, namun di didalam kebaikan dan ketaatan. Jika sekelompok orang setuju jalankan bid’ah, maka tetap tidak boleh tolong-menolong di didalam kebid’ahan. Kaidah di atas terhitung bertentangan dengan dengan firman Allah:
Maka di didalam perkara yang kita perselisihkan, sikap yang benar bukan memberikan saling memberikan udzur, namun kita kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Jadikan dalil sebagai kata pemutus. Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan:
"Kaidah: kita bersatu di didalam perkara yang kita sepakati, dan kita saling memberikan udzur di didalam perkara yang kita perselisihkan. Ini tidak curiga kembali adalah perkataan yang batil. Wajib bagi kita semua untuk bersatu di atas Al Qur’an dan As Sunnah. Perkara yang kita perselisihkan, kita kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul, bukan jadi kita saling bertoleransi dan melewatkan tetap terhadap perbedaan. Bahkan yang benar adalah kita kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Pendapat yang bersesuaikan dengan dengan kebenaran, kita ambil, pendapat yang tidak benar maka kita tinggalkan. Itulah yang mesti bagi kita, bukan melewatkan umat tetap terhadap perselisihan" (Syarah Ushul As Sittah, hal. 20-21).
Namun, kaidah di atas mampu jadi benar jika yang dimaksud adalah perkara yang ulama ijma (sepakat) itu disyariatkan, maka sesungguhnya benar kita hendaknya saling-menolong. Juga jika yang dimaksud adalah perkara khilafiyah ijtihadiyyah saaighah, maka sesungguhnya benar kita hendaknya saling memberikan udzur. Ibnu Hashar menyatakan suatu kaidah penting:
"Tidak semua khilafiyah itu dianggap, namun yang dianggap khilafiyah adalah yang membawa segi pendalilan yang benar".
Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah berkata: "Ada banyak kasus yang para ulama berlapang dada di didalam menyikapi perselisihan di dalamnya, gara-gara tersedia lebih dari satu pendapat ulama di sana. Setiap pendapat bersandar terhadap dalil yang shahih atau terhadap kaidah asal yang umum, atau kepada qiyas jaliy. Maka di didalam kasus yang layaknya ini, tidak boleh kita berpikiran orang yang berpegang terhadap pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai pakar bid’ah, atau menuduhnya berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan semestinya kita mentoleransi tiap tiap pendapat sepanjang bersandar terhadap dalil shahih, biarpun kita berpikiran pendapat yang kita pegang itu lebih tepat". (Mafatihul Fiqhi, 1/100)
Kaidah: "lihat apa yang dikatakan, jangan memandang siapa yang berkata" Yang benar, di didalam kasus dunia dan lebih kembali di didalam kasus agama, kita mesti selektif dan perhatikan dengan dengan baik siapa yang berkata? Allah ta’ala berfirman:
"Dan sungguh Allah udah menurunkan kebolehan kepada anda di di didalam Al Quran bahwa jikalau anda mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah anda duduk beserta mereka, supaya mereka memasuki obrolan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau anda berbuat demikian), tentulah anda sama dengan dengan mereka. Sesungguhnya Allah mampu mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di di didalam Jahannam" (QS. An Nisa: 140).
Ayat ini melarang duduk-duduk di majelis orang yang buruk. Maka artinya, mesti selektif pilih majelis. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terhitung bersabda:
"Diantara sinyal kiamat adalah orang-orang menuntut ilmu dari al ashaghir (ahlul bid’ah)" (HR. Ibnul Mubarak di didalam Az Zuhd [2/316], Al Lalikai di didalam Syarah Ushulus Sunnah [1/230], dihasankan Al Albani di didalam Silsilah Ash Shahihah [695]).
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mewanti-wanti terhadap ahlul bid’ah yang jadi pengajar. Maka ini menyatakan mesti selektif di didalam mengambil alih ilmu. Demikian terhitung kasus dunia, mesti diamati siapa yang mengatakannya. Allah ta’ala berfirman:
"Wahai orang- orang yang beriman, jika tersedia seorang faasiq berkunjung kepada kalian dengan dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), supaya jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya terhadap suatu kaum atas basic kebodohan, sesudah itu kelanjutannya kalian jadi menyesal atas perlakuan kalian" (QS. Al-Hujurat: 6).
Maka tahu kelirunya kaidah di atas. Namun kaidah di atas mampu benar, jika di bawakan di didalam bab "menerima kebenaran". Jika suatu perkataan udah tersampaikan, entah disengaja atau tanpa sengaja sampainya, dan itu bersesuaian dengan dengan kebenaran, maka mesti diterima siapapun yang mengatakannya. Sebagaimana hadits Abu Hurairah yang membawa kabar dari setan namun dibenarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu,
Setan berkata, "Biarkan mengajarimu suatu kata-kata yang mampu berfaedah untukmu". Abu Hurairah bertanya, "Apa itu?" Setan pun menjawab, "Jika engkau hendak tidur, bacalah ayat kursi ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum‘ sampai selesai. Maka Allah mampu tetap menjagamu dan setan tidak mampu mendekatimu sampai pagi hari". Abu Hurairah berkata, "Aku pun melewatkan diri setan tersebut. Dan saat pagi hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padaku, "Apa yang dijalankan oleh tawananmu semalam?". Abu Hurairah menjawab, "Wahai Rasulullah, ia mengaku bahwa ia mengajarkan suatu kata-kata yang Allah beri kegunaan padaku jika membacanya. Sehingga saya pun melewatkan dirinya". Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, "Apa kata-kata tersebut?" Abu Hurairah menjawab, "Ia menyatakan padaku, jika saya hendak tidur hendaknya membaca ayat kursi sampai selesai, yakni ayat ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum’. Lalu ia menyatakan padaku bahwa Allah mampu tetap menjagaku dan setan pun tidak mampu mendekatimu sampai pagi hari. Dan dahulu para rekan akrab adalah orang-orang yang paling semangat di didalam jalankan kebaikan". Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, "Dia (setan) udah menyatakan kebenaran, biarpun asalnya dia adalah makhluk yang banyak berdusta. Engkau tahu siapa yang berkata padamu di didalam tiga malam kemarin, wahai Abu Hurairah?". Abu Hurairah menjawab: "Tidak tahu". Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Dia adalah setan." (HR. Bukhari no. 2311).
Perkataan setan tetap dibenarkan jika sesungguhnya bersesuaian dengan dengan kebenaran. Dan pastinya untuk menilai suatu perkataan itu bersesuaian dengan dengan kebenaran atau tidak, ini mesti ilmu. Bukan dengan dengan analisis baik atau perasaan.
Kaidah: "ambil baiknya, menghilangkan buruknya" Kaidah ini terhitung bertentangan dengan dengan dalil-dalil di poin ke-2 di atas perihal wajibnya selektif di didalam mencari kebenaran dan mencari ilmu. Bukan ambil dari sembarang orang lantas jadi mampu mengambil alih baiknya dan menghilangkan buruknya.
Kaidah ini terhitung bertentangan dengan dengan akal sehat. Karena bagaimana mampu saja pencari kebenaran dan penuntut ilmu tahu mana yang baik dan mana yang buruk, padahal dia baru saja menghendaki studi dan mencari?! Padahal tahu mana yang baik dan mana yang buruk mesti kepada ilmu.
Namun kaidah ini mampu benar jika diterapkan terhadap orang yang mayoritasnya baik dan di atas kebenaran namun dia tergelincir terhadap lebih dari satu kekeliruan. Seperti saat berguru terhadap seorang ulama yang berpegang terhadap sunnah dan akidah yang lurus. Maka tentu saja ulama sebagaimana manusia biasa, ia tidak sempurna, kadang kala tersedia kekurangan di didalam dirinya berwujud lebih dari satu akhlak yang buruk atau lainnya. Maka di sini baru diterapkan, "ambil baiknya, menghilangkan buruknya". Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
"Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik" (HR. Ibnu Hibban 94). didalam riwayat lain:
"Maafkanlah ketergelinciran dzawil haiah (orang-orang yang baik namanya), jika jika terkena hadd" (HR. Abu Daud 4375, Dishahihkan Al Albani di didalam Ash Shahihah, 638).
https://www.spreaker.com/user/mustafalan
https://www.spreaker.com/user/runimas
https://www.spreaker.com/user/11620165
https://www.get-coupon-codes.info/ubai.web.id/
https://www.get-coupon-codes.info/digibaru.com/
https://www.spreaker.com/user/runimas
https://www.spreaker.com/user/11620165
https://www.get-coupon-codes.info/ubai.web.id/
https://www.get-coupon-codes.info/digibaru.com/
0 Response to "Salah Kaidah Dalam Beragama"
Post a Comment