Digitalisasi Untuk Pendidikan Indonesia


Delon, siswa kelas 3 SDN Kalijaya, Ciamis, Jawa Barat akrab dengan dengan foto Presiden Joko Widodo yang terpajang di dinding kelas. Hampir tiap tiap hari dia menangkap senyum Jokowi lewat tatapannya. Namun, dia tidak tahu siapa Jokowi. Foto yang terpajang di dinding sangat kecil, supaya teks info foto tidak mampu dibaca dari bangku para siswa.

"Tidak tahu, jika yang dipasang di depan kelas ya itu gambar weh mereun (mungkin). Saya mah kan tidak tahu," kata Delon yang terhitung diamini oleh teman-teman sebayanya.

Delon semestinya tahu berkat pelajaran yang dia peroleh sehari-hari. Akan tetapi, tersedia kasus keterbatasan guru di sekolahnya supaya dia tidak tahu siapa orang berjas dan dasi di didalam bingkai yang tiap tiap hari menebar senyum. Lihat juga:Anggaran Laptop Era Nadiem Lebih Besar dari Renovasi Sekolah SDN 1 Kalijaya, Ciamis, Jawa Barat terhitung tidak benar satu sekolah yang memiliki keterbatasan jumlah guru. Hanya tersedia 5 guru yang mengajar.

Dari jumlah itu, 2 di antaranya berstatus PNS. Mereka adalah kepala sekolah bernama Wardi yang merangkap sebagai guru dan istrinya. Sementara 3 orang lainnya adalah guru honorer. Mereka tidak tiap tiap hari mampu berkunjung ke sekolah untuk mengajar. Terkadang, mereka lebih pilih untuk mengurusi anak atau usaha pertaniannya.

Para guru honorer itu terhitung hanya berlatar belakang pendidikan SMA atau sederajat. Bukan pula dari sekolah unggulan di perkotaan. Dengan segala situasi tersebut, wajar jika mereka tak memberi tambahan pengajaran yang optimal kepada siswa.

"Iya sesungguhnya ya kadang enggak hadir untuk mengajar, jika udah begini kekosongannya saya tutupi, saya gantikan untuk mengajar, kadang sehari saya mampu mengajar di tiga kelas," kata Wardi kepada CNNIndonesia.com di Ciamis lebih dari satu sementara lalu.

LIPSUS 10 PENDIDIKAN HOLDSDN 1 Kalijaya, Ciamis, Jawa Barat memiliki bangunan sekolah yang ideal, namun keterbatasan guru jadi penghambat aktivitas studi mengajar. (CNN Indonesia/Tiara Sutari)

Keberadaan guru-guru honorer itu dicemaskan oleh para orang tua siswa. Ada kegelisahan di di didalam benak. Mereka khawatir anak-anak tak mendapat ilmu sebagaimana mestinya. Salah satunya adalah Nopi. Dia memiliki putra bernama Reza yang kini duduk di bangku kelas 3. Nopi tahu guru honorer kerap tak hadir untuk mengajar.

"Takutnya di didalam materi gitu, tidak cukup masukan ke anak-anak, terutama jika gurunya kembali enggak tersedia gara-gara puas kerap enggak hadir," kata Nopi.

"Jadi anak saya bilang, kepalanya pusing. Gimana mikir jika jikalau guru menerangkan namun tidak cukup jelas. Enggak masuk akal. Enggak mampu dimengerti," tambahnya.

Nopi berkata demikian gara-gara tersedia penurunan nilai Reza. Dia berpikiran tersedia penurunan semangat studi gara-gara segi guru yang tak mampu tiap tiap hari hadir di sekolah.

"Saya mah enggak berkenan diajarin sama guru yang enggak pernah datang, enggak kerap datang. Gitu kata Reza. Nah tepat kelas satu atau dua sama Bu Yuyun mah prestasinya baik," ucap Nopi.

Nopi tak mampu memindahkan anaknya ke sekolah lain. SDN 1 Kalijaya adalah sekolah yang jaraknya paling dekat dari kediaman Nopi. Bisa ditempuh jalur kaki sepanjang 10 menit. Walhasil, Nopi tak mampu berbuat banyak. Dia hanya menghendaki tersedia pergantian dari SDN 1 Kalijaya. Menurutnya, itu mesti demi siswa-siswa yang lain juga.

"Harapannya ya semoga saja Pak Menteri ini mampu membantu. Bisa enggak yah jika sampai berkunjung ke sini gitu," kata Nopi lantas terkekeh.

"Menteri mampu bantu ke tempat kita supaya tersedia kemajuan gurunya ditambahin yang bagus yang cakap, biar anak kita dari desa pinter-pinter," lanjutnya.

0 Response to "Digitalisasi Untuk Pendidikan Indonesia"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel